Wednesday, September 7, 2011

FILOSOFI RUMPUT SUNAN BONANG

Brandal Lokajaya menatap tanpa berkedip. Dari balik semak-semak tampak olehnya sebatang tongkat bertahtakan emas berkilau dibawa oleh seorang yang telah menginjak usia senja. “Kesempatan baik,” pikir si Lokajaya. Tanpa menunggu lama, ia keluar dari persembunyiannya dan segera merampas tongkat yang dibawa orang tua tadi. Tak ayal, begitu tongkat direbut orang tua tersebut jatuh tersungkur menyentuh bumi. Ia menangis. Ya, ia menangis. Lokajayapun tertegun.Ia sungguh tak menyangka perbuatannya yang dilakukan demi membela kaum papa ternyata telah membuat seorang yang tua yang seharusnya ia hormati menangis. Tersentuh, iapun mengembalikan tongkat tersebut kepada pemiliknya seraya berkata, “Kek, nggak usah menangis. Ini tongkatnya kukembalikan. Saya mohon maaf.” Apa jawaban orang tua itu ? “Nak, aku menangis bukan karena tongkat butut itu engkau rebut. Aku menangisi rumput di bawahku yang tercabut ketika aku tersungkur padahal aku tidak berniat memanfaatkannya. Aku bersedih rumput ini harus mengakhiri “hidupnya” dengan sia-sia.”

Kisah di atas adalah cuplikan kehidupan panjang Sunan Kali Jaga ketika bertemu dengan Sunan Bonang. Kita melihat , betapa emannya Sunan Bonang ketika tanpa sengaja mencabut rumput yang tak bersalah. Ya, Sunan Bonang ngeman terhadap rumput namun bukan karena rumput itu miliknya dan berada di pekarangannya. Rasa eman Sunan Bonang tulus karena cintanya yang demikian tinggi kepada sesama makhluk Allah. Ia tidak menganggap rumput sebagai iklan yang tidak bermanfaat dan lebih banyak mengganggu perjalanan langgam kehidupan. Baginya, rumput adalah subyek dan pemain yang juga layak diperhatikan sebagaimana kita memandang para aktor dan artis yang menjadi pemeran utama. Mengapa Sunan Bonang sampai bersikap seperti itu ?
Imam al-Ghazali dalam Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn menjelaskan, cinta adalah rasa yang melebihi batas kemampuan analisa manusia. Cinta yang benar-benar terpatri dalam jiwa dan mendarah daging dalam seluruh organ manusia hanya dapat dibuktikan dengan dua hal; pertama, sang pecinta mentaati semua perintah yang dicintai bukan karena itu adalah perintah namun murni karena dorongan rasa cintanya. Imam as-Syâfi’i mengatakan, “Engkau durhaka kepada Tuhan namun engkau berikrar cinta kepada-Nya. Sungguh bagiku ini peristiwa yang sangat aneh. Seandainya cintamu benar-benar tulus tentu engkau akan mentaati-Nya. Karena setiap pecinta akan taat kepada yang dicintainya.” (Is’âd ar-Rafîq).
Kedua, mencintai semua hal yang mempunyai keterkaitan dengan yang dicinta. Seorang ulama sufi mengatakan, “Apabila engkau mencintai seseorang, maka tentu engkaupun akan mencintai anjing peliharaannya.” Imam al-Ghazali mentamsilkan dengan kisah al-Majnûn dalam sya’irnya, “Ku melewati rumah Laila. Kucium tembok rumah itu dan sungguh kucium tembok rumah itu. Namun bukan cinta kepada tembok yang telah membuat hatiku mabuk melainkan cinta kepada penghuninya.”
Seseorang yang cinta kepada Allah akan mentaati-Nya sepenuh jiwa raga. Ketaatan yang bukan berdasarkan paksaan atau pengabdian namun wujud ketulusan yang mengalir secara refleks dari rasa cinta itu sendiri. Ketaatan yang tak dapat dicegah meski sang pecinta berusaha untuk menghentikannya. Dorongan cinta yang demikian kuat memaksanya untuk meninggalkan kesadaran, pertimbangan akal, dan nafsu durjana menuju ketaatan yang berada di luar kontrol dirinya sendiri.
Seseorang yang cinta kepada Allah, kata al-Ghazali akan mencintai segala hal yang berkaitan dengan-Nya. Ia akan mencintai para ulama karena ulama adalah kekasih-Nya. Ia akan mencintai para fakir karena kaum papa adalah simbol sifat rahmân rahîm-Nya. Bahkan ia akan mencintai seluruh alam raya karena alam adalah manifestasi qudrah irâdahNya. Baginya tiada yang layak diacuhkan atau dibenci karena semua adalah bagian dari Yang dicintainya. Ia takkan menyakiti orang lain karena tak ingin membuat-Nya marah. Ia takkan menyimpan benci kepada seseorang karena tak ingin membuat-Nya meragukan ketulusan cintanya. Bahkan ia takkan berani menyakiti seekor semut karena tak ingin membuat-Nya murka. Baginya, seluruh makhluk pantas untuk dicintai dan dikasihi sebagai wujud ketulusan cintanya kepada Pencipta.
Agaknya dalam kisah di atas Sunan Bonang sedang mabuk cinta kepada Tuhan atau sedang mengajarkan arti cinta kepada Brandal Lokajaya yang kelak bergelar Sunan Kali Jaga. Terlepas dari kewalian Sunan Bonang yang telah mencapai tingkat sulit diukur, ia mengajarkan bahwa perjuangan dalam membela kebenaran, agama, masyarakat bawah jangan sampai menimbulkan kerugian bagi sesama makhluk. Perjuangan mencarikan sesuap nasi bagi masyarakat kurang mampu yang berujung kesengsaraan bangsa rumput adalah ilustrasi eksploitasi alam guna memenuhi kebutuhan (atau mungkin keserakahan) manusia. Jangan sampai alam raya terlalu diperas dan diperkosa demi sebagian makhluk bernama manusia yang tak pernah peduli akan perawatan dan pelestariannya. Bagi Sunan Bonang, rumput dan seluruh alam raya bagian dari-Nya yang layak dijaga. Membeda-bedakan kasih sayang terhadap manusia dan golongan makhluk yang lain adalah bukti kurang meresapi makna cinta kepada-Nya.
Sangat layak kita mengingat cerita tatkala Imam al-Ghazali ditanya sebagian muridnya dalam perjumpaan lewat mimpi, “Ya Syeikh, Apa yang menyebabkan Engkau masuk surga dan mendapat derajat tinggi di sisi Allah ?” Imam al-Ghazali menjawab, “Anakku, aku masuk surga bukan karena amalku qiyamullail, berdakwah, atau menyusun kitab. Bukan itu yang membuatku masuk surga melainkan suatu hari seekor lalat hinggap di ujung penaku ketika aku hendak menulis. Kubiarkan lalat itu minum dan menghisap air tintaku. Itulah yang membuat aku masuk surga.” Amboi, betapa sayangnya al-Ghazali kepada semut dan betapa cintanya al-Ghazali terhadap alam raya. Bagaimana dengan kita ? Waalahu a’lam bi as-shawab.

sumber : http://masmasruhan.blogspot.com/2009/06/filosofi-rumput-sunan-bonang.html

Ditulis Oleh : Unknown // 2:08 PM
Kategori:

1 komentar: