Oleh: M. Yusuf Amin Nugroho
Shalat
jum’at adalah ibadah fardhu ‘ain bagi laki-laki yang mukallaf, tak ada ikhtilaf
di titik ini. Perbedaan di kalangan ulama fiqih baru muncul pada tata cara
pelaksanaannya. Kita tidak perlu terkejut ketika shalat Jumat di kampung
orang lain, yang mana cara pelaksanaannya berbeda dengan shalat jumat di
kampung kita. Dan kita tak perlulah terburu-buru menganggap bahwa shalat Jumat di
kampung “B” salah, bid’ah, atau telah keluar dari syariat, hanya karena
berbeda tata cara pelaksanaannya dengan yang biasa kita lakukan.
Muhammadiyah
dan NU, sebagai organisasi Islam yang memiliki massa terbesar di Indonesia,
memiki pendapat yang berbeda dalam hal tata cara pelaksanaan shalat Jumat. Perbedaan
tersebut, antara lain terletak pada pertanyaan, apakah adzan Jumat dilakukan
satu kali atau dua kali? Apakah dalam shalat jumat perlu adanya shalat
qobliyah? Apakah petugas khotib perlu menggunakan tombak sewaktu khotbah?
Ringkasan pada bab ini adalah, sebagai berikut:
a.
Dalam masalah adzan Jumat, Muhammadiyah
berpendapat bahwa adzan Jumat hanya satu kali yakni setelah khatib naik ke
mimbar dan menguapkan salam. Sementara NU berpendapat bahwa adzan Jum’at
dilakukan dua kali, sebelum khatib naik mimbar, dan setelah khatib naik mimbar
dan mengucapkan salam.
b. NU berpendapat bahwa shalat qabliyah
Jumat adalah sunnah, sebagaimana shalat qabliyah dhuhur, sementara Muhammadiyah
tidak menganggapnya bagian dari sunnah.
c. Petugas Khotib di masjid-masjid NU
biasanya memegang tombak ketika khotbah, bagi Muhammadiyah itu tidak perlu.
Memang,
kita tidak bisa seketika menyimpulkan; misal jika di sebuah masjid adzan shalat
Jumat dilakukan dua kali berarti masjid tersebut di kuasai warga NU, dan
sebaliknya, jika adzan Jumat cuma satu kali berarti “dikuasai” warga
Muhamamdiyah. NU dan Muhammadiyah hanya mengeluarkan fatwa, dengan harapan bisa
dijadikan rujukan bagi kaum Muslimin, khususnya bagi kelompoknya. Fatwa-fatwa
tersebut akan kami jabarkan satu persatu, bukan dengan maksud untuk
mengotak-kotakkan. Melainkan agar kita semakin dapat memahami perbedaan
pendapat seputar pelaksanaan shalat Jumat.
- Muhammadiyah
- Adzan Jumat
Dalam
Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah tidak diterangkan secara rinci mengenai
cara penyelanggaraan shalat Jumat. Demikian pula mengenai pendapat di sekitar
shalat Jumat, seperti mengenai berapa kali adzan, cara penyampain khutbah,
maupun bab shalat qabliyah Jumat.
Dalam
memutuskan kapan adzan dimuai dalam shalat jumat, tarjih menyatakan: “Apabila
Imam telah duduk di atas mimbar, maka adzanlah salah seorang dari kamu dan
apabila Imam telah turun dari mimbar maka berqamatlah.”
Dasar
dari tuntunan di atas, sebagaimana terdapat dalam HPT adalah hadis dari Syaib
bin Yazid yang artinya:
“Karena hadis riwayat Bukhari, Nasai
dan Abu dawud dari Saib bin Yazid r.a, yang berkata: “Adapun seruan pada hari
Jum’ah itu pertama (adzan) tatkala Imam duduk di atas mimbar, pada masa
Rasulullah SAW, pada masa Khalifah Abu Bakar r.a, pada masa Khalifah Umar r.a,
setelah tiba masa Khalifah Utsman r.a, dan orang semakin banyak maka beliau
menambah adzan ketiga di atas Zaura (nama tempat di pasar) yang mana pada masa
Nabi Saw hanya ada seorang Muadzain.”
Tarjih
Muhammadiyah mengaku mengikuti apa yang telah berlaku pada masa Rasululah saw.
Jadi, apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman tidak dilanjutkan atau ditiru
oleh Muhammadiyah.
Perlu
kami singgung lagi, bahwa HPT Muhammadiyah tidak memberi keterangan yang lebih
jauh berkait pengambilan hukum ini. Namun, penulis perlu menambahkan
alasan-alasan Ulama lain yang sependapat dengan Muhammadiyah berkaitan masalah
adzan Jumat.
Bahwa Khalifah Utsman menambahkan adzan
pertama karena suatu alasan yang masuk akal, yakni pada masa itu kaum Muslimin
semakin banyak jumplahnya dan tempat-tempat mereka berjauhan dari Masjid
Nabawi. Beliau hanya ingin menyampaikan kepada mereka (kaum Muslimin) tentang
masuknya waktu shalat, dengan mengqiyaskan shalat-shalat lainnya. Oleh karena
itu, beliau memasukkan shalat Jum’at ke dalamnya dan menetapkan kekhususan
Jum’at dengan adzan di depan khatib.
Syaikh al-Albani dalam al-Ajwibah
an-Nafi’ah berpendapat bahwa kondisi sekarang dianggap sudah tidak
memerlukan adzan tambahan sebelum khatib naik mimbar. Hampir tidak ada seorang
pun yang berjalan beberapa langkah, melainkan pasti mendengar adzan Jum’at dari
menara-menara masjid. Apalagi alat-alat pengeras suara telah dipasang di
menara-menara tersebut, jam-jam penunjuk waktu dan selainnya telah tersebar di mana-mana.
Ada pula yang berpendapat bahwa, melakukan
adzan Jumat sama seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a. sekarang ini
termasuk di dalam tashiilul haashil (berusaha mewujudkan sesuatu yang
sudah ada) dan ini tidak boleh, terutama masalah ini mengandung unsur tambahan
atas sunnah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. tanpa alasan yang
membenarkannya.
Pendapat tersebut mencoba dikuatkan
dengan mencermati lagi sejarah, di mana ‘Ali bin Abi Thalib r.a ketika
berada di Kuffah merasa cukup dengan sunnah Rasulullah saw tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh ‘Utsman r.a., hal ini seperti yang diungkap di
dalam Tafsir al-Qurthubi.
- Shalat Qabliyah Jumat
Dalam HPT Muhammadiyah tidak terdapat
pembahasan khusus mengenai Shalat qabliyah Jumat. Namun demikian, pendapat Tarjih
berkaitan dengan adzan Jumat secara langsung membuat konsekwensi terahadap
masalah shalat qabliyah Jumat.
Shalat qabliyah adalah shalat yang
mengiringi shalat wajib yang dilakukan setelah adzan. Maka, ketika adzan Jumat
cuma sekali dan itu dilakukan ketika khatib berada di atas mimbar, maka shalat
qabliyah pun jadi tidak ada. Ini senada dengan putusan Tarjih Muhammadiyah yang
menyatakan bahwa: khusus shalat tathawwu’
pada hari Jumat jumrah raka’atnya tidak terbatas, sehingga dapat dikerjakan
begitu berada di dalam masjid sesudah tahiyatul Masjid hingga datang Imam
shalat, (yang mana Imam tersebut akan bersalam dan duduk, kemudian adzan
dilakukan).
Sementara untuk shalat sunnah sesudah
shalat Jumat dapat dilakukan dengan dua atau empat Raka’at. Yang dimaksud
Shalat tathawwu’ di sini adalah
shalat sunnah tahiyatal masjid dan shalat sunnah selain qabliyah Jumat. karena
shalat sunnah qabliyah dilangsungkan setelah adzan.
Pendapat Tarjih sejalan dengan pendapat
Imam Malik, dan sebagian penganut Hanabilah dalam riwayat yang masyhur. Adapun
Dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at adalah
sebagai berikut:
Hadist
dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya,
adzan Jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa
Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin
banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan
iqamat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa
memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).
Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim
berpendapat, "Ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar
kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsung
berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi SAW
dan jama’ah itu melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum'at?”
Demikianlah hujjah dari Muhammadiyah
tentang tidak adanya shalat qabliyah Jumat.
- Nahdhatul Ulama
- Adzan Jumat
Sebagaimana
sudah disinggung di muka, bahwa NU berpendapat sunnah hukumnya adzan Jumat
dilakukan dua kali. Pendapat ini tentu tidak asal-asalan muncul, melainkan ada hujjah
dan dalil yang mendasarinya.
NU sepakat
bahwa di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan
adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Penambahan adzan Jumat
kemudian dilakukan di zaman Khalifah Utsman bin Affan r.a. sebelum khatib naik
ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali.
KH. Cholil
Nafis, salah seorang pembesar NU yang mengurusi Lembaga Bahtsul Masail, menyadari
bahwa apa yang dilalukan Khalifah Utsman r.a. dikarenakan melihat manusia sudah
mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan
lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jum'at hendak dilaksanakan. Apa yang
dilakukan Khalifah tersebut, menurut NU masih dianggap relevan sampai sekarang.
Untuk
menguatkan pendapatnya, Cholil Nafis mengutip kitab Shahih al-Bukhari, di sana dijelaskan:
Dari Sa'ib ia
berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata,
“Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu
Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika
masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau
memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di
atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". (Shahih al-Bukhari)
Pendapat NU tentang
sunnahnya dua adzan pada shalat Jumat juga sejalan dengan pendapat Syaikh
Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu'in, yang mengatakan:
"Disunnahkan
adzan dua kali untuk shalat Shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika
hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan
sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik ke
mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15)
NU menganggap
bahwa ijtihad Utsman sebagai ijma’ sukuti,
yaitu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara
tidak mengingkarinya. Ijma’ sukuti dianggap
memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma'
para sahabat. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab al-Mawahib al
Laduniyah sebagaimana juga dikutip oleh Cholil Nafis sebagai berikut:
"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina
Ustman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para
sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib
al Laduniyah, juz II,: 249).
Dalam menjawab
apakah pengambilan hukum tersebut tidak mengubah sunah Rasul? Dengan tegas NY
menyatakan tidak! Kenapa tidak? Karena mengikuti Utsman bin Affan r.a. itu juga berarti ikut Rasulullah
SAW. Sebab Rasulullah saw telah bersabda yang artinya:
"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada
sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad
Ahmad bin Hanbal)
Pendapat lain yang sejalan dengan fiqh
NU perihal adzan dua kali sebelum shalat Jumat beralasan bahwa tambahan satu
kali adzan meskipun tidak diperintahkan, tetapi juga tidak dilarang. Karena
perbuatan itu ada yang dilarang, ada
yang diperintahkan dan ada pula yang tidak dilarang dan juga tidak diperintahkan.
Adzan Jumat dua kali memang perbuatan yang tidak
diperintahkan, tetapi juga tidak
dilarang, dan mengandung unsur maslahah,
selain juga dianggap ijma’ sukuti.
- Shalat Qabliyah Jumat
Dalam masalah shalat qabliyah Jumat NU
pendapat bahwa shalat qabliyah Jumat adalah sunnah hukumnya, dikarenakan
dalilnya lebih rajih (unggul).
Pendapat ini sejalan dengan Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat yang
dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hambaliah dalam riwayat yang tidak masyhur,
demikian Cholil Nafis.
Adapun dalil yang dipakai untuk
menyatakan dianjurkannya sholat sunnah qabliyah Jum'at adalah hadist Rasulullah
SAW yang artinya:
"Semua shalat
fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua raka’at". (HR.Ibnu
Hibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah Bin Zubair).
Dari hadist di atas maka dapat
dimengerti bahwa semua shalat fardhu, termasuk shalat Jumat terdapat shalat
sunnah qabliyah.
Selain hadist di atas juga ada hadist
Rasulullah saw lainnya, yang artinya:
Diriwayatkan
dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al-Ghathafani datang (ke masjid),
sedangkan Rasulullah saw sedang berkhuthbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah
kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW
bersabda: Shalatlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat
panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah).
Berdasar dalil-dalil tersebut, Imam an-Nawawi
menegaskan dalam kitab al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab: “Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan
sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at sebelum dan sesudah shalat
jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat raka’at sebelum
dan sesudah shalat Jum’at”. (Al
Majmu’, Juz 4: 9)
- Memegang Tongkat pada Saat Khutbah
Tarjih
Muhammadiyah tidak membahas permasalahan apakah ketika khatbah, khatib membawa
tombak atau benda-benda lain di atas mimbar atau tidak? Dalam HPT hanya
dinyatakan: “Sebelum shalat hendaklah Imam berkhutbah dua kali dengan berdiri
dan duduk di atantara kedua khutbah itu. Di dalam khutbah Imam supaya membaca
ayat al-Qur’an dan memberikan peringatan-peringatan kepada orang banyak”.
Tuntunan demikian didasarkan pada pandangan hadist Sumarah r.a. Ibnu Umar, dari
Hadist Abu Hurairah, yang artinya:
“Karena hadist riyawat jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi dari Jabir bin
Samurah r.a. yang berkata: “Adalah Rasulullah berkhutbah sambil berdiri dan
duduk di antara dua khutbah, dan membaca beberapa ayat al-Qur’an dan memberi
peringatan kepada orang banyak.”
Sementara itu
NU, melalui lembaga Bahtsul Masail sependapat dengan jumhur ulama fiqh yang
mengatakan bahwa sunnah hukumnya khatib memegang tongkat dengan tangan kirinya
pada saat membaca khutbah.
Dalam masalah
ini NU bermadzhab Syafi’iyyah, di mana di dalam kitab al-Umm diterangkan: Imam Syafi'i berkata: “Telah sampai kepada kami (berita) bahwa
ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang
mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah.
Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi'
mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa
Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan".
(al-Umm)
Hadist Rasulullah saw, yang artinya:
Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami
menghadiri shalat Jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka
Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud).
Al Gazali dalam Ihya Ulumuddin, juga telah menulis:
Apabila muadzin
telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama' ah dengan wajahnya.
Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedang
yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang)
mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu)
atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum al-Din)
Memegang
tongkat selama khotbah selain merupakan sunnah (pernah dilakukan Rasul) juga
dianjurkannya sebagai cara untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan
agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus Salam,
juz II, sebagaimana dikutip dari Cholil Nafis.
0 komentar:
Post a Comment