“Tidak ada seorang pun yang mengatakan Dialah yang Esa kecuali Ahmad Saw.,
hanya padanya Dia tampak dalam penglihatan batin saat Mi’raj.”
[al-Hallaj]
Isra’ Mi’raj merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi
dalam sejarah hidup Nabi Muhammad Saw., dimana beliau diperjalankan dari
Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu
dilanjutkan dengan perjalanan vertikal menuju Sidrat al Muntaha hingga
bertatap muka dengan Allah. Peristiwa ini dikemudian hari hingga kini
terus diperingati oleh umat Islam tiap bulan Rajab.
Para sejarawan muslim klasik berbeda pendapat terkait kapan sebenarnya
peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi. Ibn Sa’d dan al-Waqidiy berpendapat,
peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 17 Ramadlan. Ibn al-Munir dan
al-Harbi mengatakan, terjadi pada malam 27 Rabiul Akhir. Sementara
al-Nawawi memilki tiga pendapat, dalam Syarh Muslim ia mengatakan
terjadi pada bulan Rabiul Akhir, dalam Fatawinya ia berpendapat pada
bulan Rabiul Awal, sedangkan dalam kitabnya yang bertitel Raudlah
al-Thalibin ia berpegang pada pendapat yang menyatakan terjadi pada
bulan Rajab. Terlepas dari kesimpang-siuran pendapat tersebut, yang
jelas umat Islam merayakannya tiap bulan Rajab. Hal ini mungkin yang
lebih mendekati kebanaran, sebagaimana yang didakwakan oleh Jalaluddin
al-Suyuthi bahwa pendapat yang masyhur adalah pada bulan Rajab.
Begitu juga terkait tempat dimana Nabi Saw. diperjalankan, dalam keadaan
terjaga ataukah tidur, hanya sekali ataukah berulang kali dan lain
sebagainya, para sejarawan tidak lepas dari perbedaan pendapat. Karena
sempitnya ruang pena dan sedikit manfaatnya, tulisan ini tidak akan
mengkaji Isra’ Mi’raj dalam dimensi kesejarahannya, tapi lebih
mengkonsentrasikan pada bagaimana peristiwa tersebut dihayati oleh para
Sufi, mengingat –dalam pandangan penulis- hanya di tangan Sufilah Isra’
Mi’raj menemukan transformasi ajarannya.
Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw. sebagai kaki pijak tujuan tasawuf
Kendati riwayat tentang Isra’ Mi’raj sangat beragam, namun semuanya bisa
disimpulkan bahwa pada intinya Nabi Muhammad Saw. pernah diperjalankan
oleh Allah dengan perjalanan horizontal (Isra’) dan vertikal (Mi’raj).
Dalam perjalanan vertikal inilah Muhammad Saw. menaiki langit (sama’)
demi langit hingga sampai ke langit tujuh. Di langit ke tujuh beliau
bertatap muka dan berdiskusi dengan Allah, yang akhirnya menghasilkan
kewajiban bagi diri dan umatnya shalat lima kali dalam sehari semalam.
Dalam dunia tasawuf peristiwa tersebut tidak hanya dijadikan sebagai
momen bersejarah yang hampa makna, tapi dijadikan sebagai simbol
inspirasi perjalanan mistikus dimana manusia bisa bertemu dan
bercakap-cakap dengan Tuhannya. Oleh karena itu, penyaksian alam malakut
atau tersingkapnya tabir ke-Tuhanan (musyahadah) dalam dunia tasawuf
menjadi tujuan akhir pencarian kejernihan jiwa bagi para sufi. Dalam
kisah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw. diungkapkan bahwa beliau bisa
bertemu dengan Tuhannya dengan melewati tujuh langit, ini artinya bahwa
umatnya juga bisa bermusyahadah dengan Allah tapi harus melalui beberapa
maqam (terminal-terminal), atau derajat yang harus dilalui untuk
menjadi ‘Arif billah. Maqam tersebut sangat banyak sekali jumlahnya
sebagaimana arti bilangan tujuh yang berarti menunjukkan jumlah tak
terhitung. Sebagai sample QS. 2: 261 dan QS. 31: 27, dalam kedua ayat
ini kata tujuh tidak diartikan sebagai hitungan eksak dalam arti
bilangan tujuh, tapi jumlah yang sangat banyak. Kendati demikian,
maqamat dalam standar sunni jumlahnya ada tujuh, sebagaimana arti
literal kata sab’ al-Samawat (tujuh langit). Tujuh terminal tersebut
ialah:
1. Taubat, Menurut Dzu al-Nun al-Mishri, taubat terbagi menjadi dua,
taubatnya orang awam yaitu taubat dari dosa-dosa dan taubatnya orang
khawas, taubat dari lalai kepada Tuhan (ghaflah).
2. Wara’, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas halal dan
haramnya. Dalam hal ini seseorang harus selalu mengupayakan dirinya
untuk makan sesuatu yang halal.
3. Zuhud, artinya seseorang tidak tamak atau mengharapkan pemberian dari orang lain dan tidak mengutamakan kesenangan dunia.
4. Fakir, seseorang di dalam hatinya tidak boleh merasa memiliki sesuatu dan merasa sangat membutuhkan Allah.
5. Sabar, dalam menghadapi bencana seseorang harus menyikapinya dengan etika yang baik (husn al-Adab).
6. Tawakkal, hanya berpegang teguh pada Allah sebagai Tuhan yang maha memelihara (Rabb al-‘Alamin).
7. Ridla, hati selalu menerima ketentuan Tuhan (Taqdir) baik manis
maupun pahit. Sebagaimana dikatakan Al-Nuri bahwa ridla adalah
kegembiraan hati menghadapi “pahitnya ketentuan Tuhan”. Ibn Khafif
menambahkan, ridla juga berarti menyetujui terhadap apa yang diberikan
Allah kepadanya dan yakin bahwa itulah yang terbaik dan diridlai oleh
Allah.
Secara urut ketujuh maqam ini harus dilalui secara tertib, karena
dalam tiap perpindahan dari satu maqam ke maqam yang lain sufi akan
mengalami perubahan psikis-emosional atau yang biasa disebut dengan hal.
Dalam maqam terakhir sufi akan mengalami perubahan hal yang mengagumkan
dan itu merupakan derajat tertinggi, yaitu mi’raj (naik ke atas) atau
biasa disebut dengan ektase, mabuk kepayang hingga klimaknya “face to
face” dengan Tuhan bahkan menyatu dengan-Nya, atau dalam bahasa Abu
Yazid al-Busthami “Allah adalah Aku” dan “Aku adalah Allah”. Dalam salah
satu perkataanya Abu Yazid al-Busthami menyatakan:
“Suatu ketika Dia mengangkatku ke atas, menempatkanku dihadapan-Nya.
Dia berkata kepadaku, Wahai Abu Yazid, makhluk-Ku akan senang mencarimu.
Aku berkata pada-Nya, hiasilah aku dengan wahdaniyyah-Mu, pakaianku
dengan ananiyyah-Mu, dan angkatlah aku ke ahadiyah-Mu, hingga ketika
makhluk-Mu melihatku,
mereka berkata, kami telah melihat-Mu dan Engkau akan menjadi hal itu dan aku tidak akan ada di situ.”
Pengalaman mistis tersebut merupakan pengalaman keagamaan yang
sejati. Al-Ghazali, dalam menggambarkan hakikat mengatakan, ketika
seseorang naik kepuncak hakikat maka tiada wujud yang tampak selain
wujud al-Wahid al-Haq (hanya eksistensi Tuhan yang Esa), seseorang
selalu ingat Allah sekalipun kepada dirinya sendiri, tidak ada yang lain
kecuali Allah, mereka mabuk kepayang hingga mengalahkan fungsi akalnya.
Klimaknya terucaplah kata Ana al-Haq (Aku adalah yang maha benar),
Subhani (Maha suci Aku), Ma A’dzam Sya’ni (Alangkah besarnya Aku) Ma fi
al-Jubah illa Allah (di dalam jubahku hanya ada Allah).
Dalam kitabnya yang lain, Ihya ‘Ulum al-Din, ketika membahas
tingkatan tauhid ia mengatakan, tauhid tertinggi (urutan ke empat)
adalah seseorang tidak melihat dalam wujud kecuali al-Wahid (Tuhan yang
Esa). Seseorang tidak melihat dirinya sendiri karena tenggelam ke dalam
tauhid-Nya, ia lenyap dari pada melihat dirinya sendiri dan makhluk
lain, atau dalam bahasa tasawuf dikenal dengan al-Fana.
Dengan demikian, bagi kaum Sufi pengalaman Nabi Muhammad Saw. dalam
Isra Mi’raj dijadikan sebagai contoh pengalaman ruhani tertinggi,
pengalaman yang sangat menggembirakan dan hanya bisa dirasakan oleh sang
empunya. Dalam salah satu sabdanya Nabi Muhammad Saw. menggambarkannya
sebagai “Sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh
telinga, dan tak terbersit dalam hati manusia.” Bagaikan rasa manis
madu, seseorang tidak akan pernah bisa merasakannya tanpa mencicipi
sendiri. Sebab dalam musyahadah itu, segala rahasia kebenaran tersingkap
(Kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fana’)
dalam Kebenaran. Menurut al-Busthami pengalaman yang sangat
membahagiakan ini bersifat selamannya, bahkan lebih abadi ketimbang
kenikmatan surga, karena menurut beliau kenikmatan surga memiliki durasi
waktu. Oleh karena itu, walaupun pengalaman tersebut hanya terjadi satu
kali dan sesaat, sebagaimana Isra’ Mi’raj Muhammad Saw. yang hanya
semalam, tapi relevansinya bagi pembentukkan moral akan bersifat
selamanya karena si empunya telah berhasil menangkap kebenaran.
Memang tidak sedikit orang yang menganggap kesatuan Tuhan dan manusia
(jawa: Manunggale Kawula Gusti) sebagai ajaran sesat. Pandangan demikian
pada dasarnya terpengaruh oleh kaum literalis (Ahl al-Dzahir) yang
mengutuk mati-matian terhadap para promotornya, atau mungkin gara-gara
promotornya mati ditiang gantung (dihukum mati), sebagaimana yang
menimpa pada al-Hallaj, Syuhrawardi al-Maqtul, Siti Jenar dan yang
lainnya.
Syahdan, apa yang dituduhkan oleh kalangan literalis sama sekali
tidak berdasar dan irasional, karena pengalaman mistis kaum sufi
bersifat pribadi dan tidak dapat dikomunikasikan kepada orang lain.
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa hanya pelakunyalah yang bisa
merasakan, dengan demikian sangat tidak patut jika seseorang menghakimi
pengalaman ruhani sufi yang tidak terlihat. Sementara pernyataan vonis
hukuman mati berdasarkan “tuntutan agama”, sungguhpun hal tersebut tak
lebih dari pembiasan dan pembiusan sejarah. Sejarah membuktikan bahwa
jatuhnya vonis lucu tersebut murni sebagai kepentingan politik. Sebagai
sample, al-Hallaj diadili dan dihukum mati karena ia memiliki pengikut
yang begitu banyak, dimanapun ia berada maka di situlah manusia
berkerumunan, kemanapun al-Hallaj pergi maka mereka mengikuti
langkahnya. Sementara pada saat itu pemerintah hendak mendirikan Negara,
sehingga Bani ‘Abbas yang saat itu memegang tampuk kepemimpinan merasa
gundah, khawatir tidak mendapat dukungan. Akhirnya sebagaimana lazimnya
politik kotor, al-Hallaj dicekal, pemerintah mewajibkan kepada rakyatnya
agar selalu waspada terhadap al-Hallaj. Tapi karena masyarakat sudah
benar-benar mendarah-daging dengannya, himbauan pemerintah sama sekali
tidak dihiraukan. Sebagai alternatif andalan, penguasa yang bertindak
sewenang-wenang itu mengajukan saksi-saksi palsu dengan menjanjikan
kedudukan yang tinggi dan materi yang berlimpah ruah kepada para penegak
hukum guna memfitnah dan menghakimi al-Hallaj. Akhirnya kepala “kekasih
Allah” harus jatuh menggelundung terpenggal pedang. Begitu juga yang
terjadi pada sufi martir lainnya, semuannya hanya berdasarkan tuntutan
politik kotor penguasa yang menjadi budak nafsu (‘Abd al-Hawa).
Urgensitas renungan Isra’ Mi’raj sufistik bagi manusia kekinian
Berbagai tindakan amoral yang bergelimang di kanan-kiri kita, mulai dari
penindasan masyarakat miskin, kebejadan sebagian pemerintah yang dengan
seenaknya ngemplang duit rakyat, hingga penyakit-penyakit sosial lain,
kiranya sudah cukup dijadikan bukti betapa absurdnya pakerti manusia
modern. Sementara di sisi lain “bayangan fatamorgana kesalehan umat
Islam” bertumbuh subur. Banyak orang yang mengenakan jubah, berjenggot,
berudeng-udeng ala Rasulillah Saw. mondar mandir bawa tasbih, tapi hati
mereka tak sesaleh pakaiannya. Mungkin orang-orang seperti inilah yang
pernah disaksikan oleh Syaikh Abu Bashir pada abad ke-2 Hijriyah.
Al-Kisah, suatu ketika pada musim haji Abu Bashir berada di Masjid
al-Haram, ia terpesona menyaksikan ribuan orang bergerak thawaf
mengelilingi Ka’bah, seraya mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan
takbir dari mulut mereka. Saat pertama kali melihat, Abu Bashir
membayangkan, betapa beruntungnya orang-orang itu, mereka telah mendapat
panggilan Tuhan, tentunya mereka semua akan mendapat pahala dan
ampunan-Nya. Imam Ja’far al-Shadiq, tokoh spiritual yang terkenal dan
salah satu ulama besar dari keluarga Rasulullah Saw. begitu menyaksikan
kekaguman Abu Bashir, ia langsung berkata, “Inginkah aku tunjukkan
kepadamu siapa sebenarnya mereka?”, lalu Imam Ja’far menyuruh Abu Bashir
menutup matanya. Kemudian Imam Ja’far mengusap wajahnya. Ketika membuka
lagi matanya, Abu Bashir terkejut. Di sekitar Ka’bah, ia melihat banyak
sekali binatang dalam berbagai jenisnya, ada yang mendengus, melolong,
dan menggaung. Imam Ja’far berkata, “Betapa banyaknya lolongan dan
gaungan dan betapa sedikitnya orang yang benar-benar berhaji.” Bagian
luar mereka saleh, tapi hatinya busuk menjijikan. Bukankah Imam
al-Ghazali sendiri ketika shalat, hanya gara-gara memikirkan persoalan
menstruasi, dimata adiknya, Ahmad al-Ghazali, terlihat berlumuran darah.
Entah kita tidak bisa membayangkan, anatomi wakil rakyat yang korupsi
dan orang yang jual-beli agama demi mempertahankan status quo dimata
para ‘Arif billah.
Di tengah-tengah “realitas kusut” ini telah tiba hari besar umat
Islam, hari dimana Nabi diIsra’-Mi’rajkan oleh Sang pemilik jagat raya.
Ini tentunya momen terbaik bagi umat Islam untuk membersihkan dimensi
spiritualnya yang selama ini terendap oleh lumpur-lumpur “kejahiliahan.”
Merayakan Isra’ Mi’raj dengan cara memaksa diri untuk menggapai satu
maqam ke maqam yang lain, menggapai maqam taubat untuk sampai ke wara’,
dari wara’ ke zuhud, zuhud ke fakir, dilanjutkan maqam sabar, tawakkal
dan ridla hingga tergapailah jalinan intim dengan Tuhan sebagaimana yang
telah disusun secara apik oleh para sufi, tentu merupakan keharusan
untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Perlu ditegaskan di sini,
bahwa berusaha berada di satu maqam ke maqam lain yang berarti “nyufi”
(menjalankan ajaran tasawuf) bukan berarti bertolak dengan profesi, tapi
malah memberikan motivasi kepada pelakunya untuk selalu dinamis. Di
sepanjang sejarah bisa dibuktikan misalnya Umar Ibn Abdul Aziz, beliau
pelaku ajaran tasawuf berprofesi sebagai pemimpin Negara yang sangat
sukses. Junaid al-Baghdadi, ahli tasawuf, beliau menjadi pengusaha
botol. Abu Sa’id al-Kharraz, sufi, berprofesi sebagai pengusaha
konveksi. Al-Hallaj, sufi, syaikh al-Akbar, juga sukses sebagai
pengusaha tenun. Hal ini membuktikan bahwa tasawuf sama sekali bukan
sebagai faktor yang menjadikan umat Islam tertinggal, kolot dan
terbelakang, tapi malah sebaliknya. Karena ber-Isra’ Mi’raj dengan
menjalankan ajaran taubat, seseorang akan menyadari bahwa selama ini
dirinya telah berbuat angkara murka terhadap sesama, menindas masyarakat
pinggiran dan lain-lain. Dengan menanamkan sifat wara’, zuhud, fakir,
sabar dan yang lainnya, seseorang akan tercegah dari tindakan mencuri,
merampok, korupsi dan terhindar dari budaya hedonisme dan konsumerisme
yang kian hari terus menggerus masyarakat.
Dengan demikian Isra’ Mi’raj tidak hanya dimonopoli oleh Nabi
Muhammad Saw., Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, tapi
manusia modern juga bisa ber-Isra’ Mi’raj, naik ke langit untuk bertemu
dengan Tuhan, kendati kemungkinan sampai pada “muka Allah” sangat tipis
terjadinya. Akhir Qauli, “Selamat ber-Isra’ Mi’raj, semoga berhasil
sampai tujuan ”.
sumber : http://misykat.lirboyo.net/isra-miraj-dalam-renungan-sufistik/